Selain di dunia nyata,
ternyata di dunia maya pun terdapat peraturan yang disebut dengan Cyberlaw,
yang berasal dari dua kata yaitu cyber (dunia maya) dan law (hukum). Peraturan
ini diberlakuan karena dunia maya tidak hanya berupa Informasi yang berguna tapi
juga terdapat tindak kejahatan. Hukum yang ada pada dunia maya berbeda
sebutannya, di antaranya adalah CYBERLAW, COMPUTER CRIME LAW & COUNCILE OF
EUROPE CONVENTION ON CYBERCRIME. Walaupun maksud dari ketiga hukum di atas
sama, tapi terdapat perbedaan yang sangat besar.Perbedaannya terdapat pada
wilayah hukum itu berjalan.Seperti contoh sebagai berikut :
Cyber Law adalah sebuah
istilah yang digunakan untuk merujuk pada hukum yang tumbuh dalam medium
cyberspace. Cyber law merupakan sebuah istilah yang berhubungan dengan masalah
hukum terkait penggunaan aspek komunikatif, transaksional, dan distributif,
dari teknologi serta perangkat informasi yang terhubung kedalam sebuah
jaringan. Didalam karyanya yang berjudul Code and Other Laws of Cyberspace,
Lawrence Lessig mendeskripsikan empat mode utama regulasi internet, yaitu:
• Law (Hukum) East
Coast Code (Kode Pantai Timur) standar, dimana kegiatan di internet sudah
merupakan subjek dari hukum konvensional. Hal-hal seperti perjudian secara
online dengan cara yang sama seperti halnya secara offline.
• Architecture
(Arsitektur)West Coast Code (Kode Pantai Barat), dimana mekanisme ini
memperhatikan parameter dari bisa atau tidaknya informasi dikirimkan lewat internet.
Semua hal mulai dari aplikasi penyaring internet (seperti aplikasi pencari kata
kunci) ke program enkripsi, sampai ke arsitektur dasar dari protokol TCP/IP, termasuk
dalam kategori Norms (Norma)Norma merupakan suatu aturan, di dalam λ regulasi
ini. setiap kegiatan akan diatur secara tak terlihat lewat aturan yang terdapat
di dalam komunitas, dalam hal ini oleh pengguna internet.
•Market (Pasar)Sejalan
dengan regulasi oleh norma di atas, pasar juga mengatur beberapa pola tertentu
atas kegiatan di internet. Internet menciptakan pasar informasi virtual yang
mempengaruhi semua hal mulai dari penilaian perbandingan layanan ke penilaian
saham.
Pada tahun 1997
malaysia telah mengesahkan dan mengimplementasikan beberapa perundang-undangan
yang mengatur berbagai aspek dalam cyberlaw seperti UU Kejahatan Komputer, UU
Tandatangan Digital, UU Komunikasi dan Multimedia, juga perlindungan hak cipta
dalam internet melalui amandemen UU Hak Ciptanya. The Computer Crime Act
mencakup, sbb:
• Mengakses material
komputer tanpa ijin
• Menggunakan komputer
untuk fungsi yang lain
• Memasuki program
rahasia orang lain melalui komputernya
• Mengubah / menghapus
program atau data orang lain
• Menyalahgunakan
program / data orang lain demi kepentingan pribadi
Council of Europe
Convention on Cyber Crime (Dewan Eropa Konvensi Cyber Crime), yang berlaku
mulai pada bulan Juli 2004, adalah dewan yang membuat perjanjian internasional
untuk mengatasi kejahatan komputer dan kejahatan internet yang dapat menyelaraskan
hukum nasional, meningkatkan teknik investigasi dan meningkatkan kerjasama
internasional. berisi Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI)
pada intinya memuat perumusan tindak pidana. Council of Europe Convention on
Cyber Crime ini juga terbuka untuk penandatanganan oleh negara-negara non-Eropa
dan menyediakan kerangka kerja bagi kerjasama internasional dalam bidang ini.
Konvensi ini merupakan perjanjian internasional pertama pada kejahatan yang dilakukan
lewat internet dan jaringan komputer lainnya, terutama yang berhubungan dengan
pelanggaran hak cipta, yang berhubungan dengan penipuan komputer, pornografi anak
dan pelanggaran keamanan jaringan. Hal ini juga berisi serangkaian kekuatan dan
prosedur seperti pencarian jaringan komputer dan intersepsi sah. Tujuan utama
adanya konvensi ini adalah untuk membuat kebijakan kriminal umum yang ditujukan
untuk perlindungan masyarakat terhadap Cyber Crime melalui harmonisasi
legalisasi nasional, peningkatan kemampuan penegakan hukum dan peradilan, dan
peningkatan kerjasama internasional. Selain itu konvensi ini bertujuan terutama
untuk:
•
Harmonisasi unsur-unsur hukum domestik
pidana substantif dari pelanggaran dan ketentuan yang terhubung di bidang
kejahatan cyber.
•
Menyediakan form untuk kekuatan hukum
domestik acara pidana yang diperlukan untuk investigasi dan penuntutan tindak
pidana tersebut, serta pelanggaran lainnya yang dilakukan dengan menggunakan
sistem komputer atau bukti dalam kaitannya dengan bentuk elektronik
•
Mendirikan cepat dan efektif rezim
kerjasama internasional.
Implikasi
atau dampak diterapkannya UU ITE di Indonesia
Pelanggaran hukum dalam
transaksi elektronik dan perbuatan hukum di dunia maya merupakan fenomena yang
mengkhawatirkan, mengingat berbagai tindakan, seperti carding, hacking,
cracking, phising, viruses, cybersquating, pornografi, perjudian (online
gambling), transnasional crime yang memanfaatkan informasi teknologi sebagai
“tool” telah menjadi bagian dari aktivitas pelaku kejahatan internet. Oleh
karena itu, Pemerintah memandang RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) mutlak diperlukan bagi Negara Indonesia, karena saat ini Indonesia
merupakan salah satu Negara yang telah menggunakan dan memanfaatkan teknologi
informasi secara luas dan efisien, namun belum memiliki undang-undang cyber.
Cakupan materi RUU ITE,
antara lain : informasi dan dokumen elektronik, pengiriman dan penerimaan surat
elektronik, tanda tangan elektronik, sertifikat elektronik, penyelenggaraan
system elktronik, transaksi elektronik, hak atas kekayaan intelektual dan
privasi. Hal-hal demikian, dikemukakan Dirjen Aplikasi Telematika Kominfo,
Cahyana Ahmadjayadi dalam penjelasannya kepada jabarprov.go.id, Senin (11/12)
di Hotel Panghegar Bandung, disela acara Sosialisasi RUU tentang ITE.
Menurut Cahyana, bahwa
UU tentang ITE akan memberikan manfaat, yaitu : akan menjamin kepastian hokum
bagi masyarakat yang melakukan transaksi elektronik, mendorong pertumbuhan
ekonomi, mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi dan melindungi
masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi. Adapun
terobosan-terobosan yang penting yang dimilikinya, imbuh Cahyana, adalah,
pertama, tanda tangan elektronik diakui memiliki kekuatan hokum yang sama
dengan tandatangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Kedua, alat bukti
elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP. Ketiga,
Undang-Undang ITE, berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hokum,
baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki
akibat hokum di Indonesia. Keempat, penyelesaian sengketa, juga dapat
diselesaikan dengan metode penyelesaian sengketa alternative atau arbitrase.
Fakta menunjukan,
demikian Cahyana, masyarakat umum dan perbankan khususnya telah melakukan
kegiatan transaksi yang seluruhnya menggunakan teknologi informasi sebagai alat
(tools). Berdasarkan data transaksi elektronik melalui perbankan di Indonesia
(BI 2005), jumlahtransaksi mencapai 1,017 milliar (39,9 juta pemegang kartu),
dengan nilai transaksi mencapai Rp 1.183,7 trilyun yang dikelola 107
penyelenggara. Mengingat transaksi elektronik ini meningkat, maka sangat
diperlukan payung hukum untuk mengaturnya, untuk itulah UU ITE menjadi urgen
dan mendesak, demikian Dirjen APL Telematika Depkominfo, Cahyana Ahmadjayadi.
UU ITE yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal mencakup materi mengenai Informasi
dan Dokumen Elektronik; Pengiriman dan Penerimaan Surat Elektronik; Tanda
Tangan Elektronik; Sertifikat Elektronik; Penyelenggaraan Sistem Elektronik;
Transaksi Elektronik; Hak Atas kekayaan Intelektual; dan Perlindungan Data
Pribadi atau Privasi. Sebagai tindak lanjut UU ITE, akan disusun beberapa RPP
sebagai peraturan pelaksanaan, yaitu mengenai Lembaga Sertifikasi Kehandalan,
Tanda Tangan Elektronik, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, Penyelenggaraan
Sistem Elektronik, Transaksi Elektronik, Penyelenggara Agen Elektronik,
Pengelola Nama Domain, Lawful Interception, dan Lembaga Data Strategis.
Melengkapi Kitab
Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah ada, UU ITE juga mengatur
mengenai hukum acara terkait penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum
(kepolisian dan kejaksaan) yang memberi paradigma baru terhadap upaya
penegakkan hukum dalam rangka meminimalkan potensi abuse of power penegak hukum
sehingga sangat bermanfaat dalam rangka memberikan jaminan dan kepastian hukum.
“Penyidikan di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik dilakukan
dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran
layanan publik, integritas data atau keutuhan data, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 42 ayat (2)). Sedangkan Penggeledahan dan/atau
penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana
harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat dan wajib menjaga
terpeliharanya kepentingan pelayanan umum (Pasal 42 ayat (3)).
Pengaturan tersebut
tidak berarti memberikan peluang/pembiaran terhadap terjadinya upaya kejahatan
dengan menggunakan sistem elektronik, karena dalam halhal tertentu penyidik
masih mempunyai kewenangan melaksanakan tugasnya sebagaimana diatur dalam KUHAP
(Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Dalam hal pelaku kejahatan
tertangkap tangan, penyidik tidak perlu meminta izin, serta dalam hal sangat perlu
dan mendesak bilamana penyidik harus segera dan tidak mungkin untuk mendapatkan
surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan hanya atas benda bergerak
dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat
guna memperoleh persetujuan (Pasal 38 ayat (2) KUHAP.
Tulisan ini merupakan
rangkaian dari tulisan saya sebelumnya, yang masih berkutat di sekitar
penerapan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE). UU ITE yang diberlakukan sejak April 2008 lalu ini memang merupakan
terobosan bagi dunia hukum di Indonesia, karena untuk pertama kalinya dunia
maya di Indonesia mempunyai perangkat. Karena sifatnya yang berisi aturan main
di dunia maya, UU ITE ini juga dikenal sebagai Cyber Law. Sebagaimana layaknya
Cyber Law di negara-negara lain, UU ITE ini juga bersifat ekstraterritorial,
jadi tidak hanya mengatur perbuatan orang yang berdomisili di Indonesia tapi
juga berlaku untuk setiap orang yang berada di wilayah hukum di luar Indonesia,
yang perbuatannya memiliki akibat hukum di Indonesia atau di luar wilayah
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Secara sederhana, bisa
dikatakan bahwa bila ada blogger di Belanda yang menghina Presiden SBY melalui
blognya yang domainnya Belanda, bisa terkena keberlakuan UU ITE ini. Pasal
dalam Undang-undang ITE Pada awalnya kebutuhan akan Cyber Law di Indonesia
berangkat dari mulai banyaknya transaksi-transaksi perdagangan yang terjadi
lewat dunia maya. Atas transaksi-transaksi tersebut, sudah sewajarnya konsumen,
terutama konsumen akhir (end-user) diberikan perlindungan hukum yang kuat agar
tidak dirugikan, mengingat transaksi perdagangan yang dilakukan di dunia maya
sangat rawan penipuan.
Dan dalam
perkembangannya, UU ITE yang rancangannya sudah masuk dalam agenda DPR sejak
hampir sepuluh tahun yang lalu, terus mengalami penambahan disana-sini,
termasuk perlindungan dari serangan hacker, pelarangan penayangan content yang
memuat unsur-unsur pornografi, pelanggaran kesusilaan, pencemaran nama baik,
penghinaan dan lain sebagainya.
Terdapat sekitar 11
pasal yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU ITE,
yang mencakup hampir 22 jenis perbuatan yang dilarang. Dari 11 Pasal tersebut
ada 3 pasal yang dicurigai akan membahayakan blogger, pasal-pasal yang mengatur
larangan-larangan tertentu di dunia maya, yang bisa saja dilakukan oleh seorang
blogger tanpa dia sadari. Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) dan
(3), Pasal 28 ayat (2), serta Pasal 45 ayat (1) dan (2).
Pasal 27 ayat (1)
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Pasal 27
ayat (3)”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik. ”Pasal 28 ayat (2)“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA).”
Atas pelanggaran
pasal-pasal tersebut, UU ITE memberikan sanksi yang cukup berat sebagaimana di
atur dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2). Pasal 45 ayat (1) “Setiap orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 45
ayat (2)“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Manfaat pelaksanaan UU
ITE.
Transaksi
dan sistem elektronik beserta perangkat pendukungnya mendapat perlindungan
hukum. Masyarakat harus memaksimalkan manfaat potensi ekonomi digital dan
kesempatan untuk menjadi penyelenggara Sertifikasi Elektronik dan Lembaga
Sertifikasi Keandalan. E-tourism mendapat perlindungan hukum. Masyarakat harus
memaksimalkan potensi pariwisata indonesia dengan mempermudah layanan
menggunakan ICT. Trafik internet Indonesia benar-benar dimanfaatkan untuk
kemajuan bangsa. Masyarakat harus memaksimalkan potensi akses internet
indonesia dengan konten sehat dan sesuai konteks budaya Indonesia Produk ekspor
indonesia dapat diterima tepat waktu sama dengan produk negara kompetitor.
Masyarakat harus memaksimalkan manfaat potensi kreatif bangsa untuk bersaing
dengan bangsa lain.
Efektifitas UU ITE
Terhadap Tekonologi Informasi.
Bila
dilihat dari content UU ITE, semua hal penting sudah diakomodir dan diatur
dalam UU tersebut. UU ITE sudah cukup komprehensif mengatur informasi
elektronik dan transaksi elektronik. Mari kita lihat beberapa cakupan materi UU
ITE yang merupakan terobosan baru. UU ITE yang mana mengakui Tanda Tangan
Elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tandatangan konvensional
(tinta basah dan materai), alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti
lainnya yang diatur dalam KUHAP, Undang-undang ITE berlaku untuk setiap orang
yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di
luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia; penyelesaian sengketa
juga dapat diselesaiakan dengan metode penyelesaian sengketa alternatif atau
arbitrase. Setidaknya akan ada sembilan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan
pelaksana UU ITE, sehingga UU ini dapat berjalan dengan efektif.
Dampak UU ITE bagi
Kegiatan Transaksi Elektronik.
UU
ITE yang disahkan DPR pada 25 Maret lalu menjadi bukti bahwa Indonesia tak lagi
ketinggalan dari negara lain dalam membuat peranti hukum di bidang cyberspace
law. Menurut data Inspektorat Jenderal Depkominfo, sebelum pengesahan UU ITE,
Indonesia ada di jajaran terbawah negara yang tak punya aturan soal cyberspace
law. Posisi negeri ini sama dengan Thailand, Kuwait, Uganda, dan Afrika
Selatan.
Tentu saja posisi itu
jauh berada di belakang negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Bahkan
beberapa negara berkembang lainnya, seperti India, Sri Lanka, Bangladesh, dan
Singapura, mendahului Indonesia membuat cyberspace law. Tak mengherankan jika
Indonesia sempat menjadi surga bagi kejahatan pembobolan kartu kredit
(carding).
Pengaruh UU ITE.
Sekarang
kita tahu maraknya carding atau pencurian kartu kredit di internet berasal dari
Indonesia, hal ini memungkinan Indonesia dipercaya oleh komunitas ”trust”
internasional menjadi sangat kecil sekali. Dengan hadirnya UU ITE, diharapkan
bisa mengurangi terjadinya praktik carding di dunia maya. Dengan adanya UU ITE
ini, para pengguna kartu kredit di internet dari negara kita tidak akan
di-black list oleh toko-toko online luar negeri. Sebab situs-situs seperti
www.amazon.com selama ini masih mem-back list kartu-kartu kredit yang
diterbitkan Indonesia, karena mereka menilai kita belum memiliki cyber law.
Nah, dengan adanya UU ITE sebagai cyber law pertama di negeri ini, negara lain
menjadi lebih percaya atau trust kepada kita.
Dalam Bab VII UU ITE
disebutkan: Perbuatan yang dilarang pasal 27-37, semua Pasal menggunakan
kalimat, ”Setiap orang… dan lain-lain.” Padahal perbuatan yang dilarang
seperti: spam, penipuan, cracking, virus, flooding, sebagian besar akan
dilakukan oleh mesin olah program, bukan langsung oleh manusia. Banyak yang
menganggap ini sebagai suatu kelemahan, tetapi ini bukanlah suatu kelemahan.
Sebab di belakang mesin olah program yang menyebarkan spam, penipuan, cracking,
virus, flooding atau tindakan merusak lainnya tetap ada manusianya, the man
behind the machine. Jadi kita tak mungkin menghukum mesinnya, tapi orang di
belakang mesinnya.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar